18 Juli 2008

“MIMPIMU MASA DEPANMU”

Oleh. Egi Hergiana, ST
Ketua Umum Gema Hanura Jawa Barat
Wakil Sekretaris DPD Hanura Jawa Barat


“ Generasi Muda harapan bangsa “ kalimat yang sering terdengar, barangkali sejak puluhan tahun yang lalu. Kalimat tersebut sudah biasa orang ucapkan dan menjadi argument dalam beretorika, tetapi ketika puluhan tahun lalu kalimat tersebut terlontarkan kepada generasi muda kala itu dan generasi muda itu berangsur menjadi tua dan mempunyai peran dalam pengambilan keputusan maka berangsur pula harapan yang menjadi cita – cita itu terlupakan….Bangsa ini tetap menjadi bangsa yang terbelakang, bangsa yang belum bisa membangun manusia – manusianya menjadi manusia yang tangguh yang menghargai proses dimana segala sesuatu ingin digarap secara instant,….. mengutip hasil penelitian salah satu media internasional yang membuat ranking Negara – Negara terkorup, Indonesia menduduki peringkat ke-3 terkorup di dunia, dengan santainya orang membaca berita tersebut lalu berceloteh : “ Indonesia jadi ranking ke-3 katanya hasil nyuap, mungkin seharusnya jadi ranking pertama” komentar yang tidak serius ini barangkali harus kita renungkan selepas kita tersenyum mendengarnya, seburuk itukah bangsa kita ??

Para politisi yang menjadi wakil rakyat terlihat tampil dengan baju idealisme, kepentingan rakyat dan Negara jadi argumennya, diujung semua itu hanya untuk membuat harga mereka semakin tinggi ketika barang dagangannya akan di lepas ke pasaran….Entah sadar atau tidak para politisi tersebut melakukan itu semua, yang pasti mereka telah memberi pendidikan politik yang keliru terhadap masyarakat khususnya generasi muda ,akibatnya Ideologi sudah bukan menjadi suatu tuntunan dalam membangun paradigma politik generasi muda, mereka terjebak dalam sikap pragmatisme, disamping itu kondisi masyarakat secara umum yang masih jauh dari kata sejahtera, dimana sampai saat ini belum ada tanda – tanda yang signifikan terhadap perbaikan ekonomi bangsa , ditandai deangan daya beli masayarakat rendah, dan sulitnya lapangan pekerjaan. Kondisi ekonomi ini turut menyumbang dan turut menguatkan pilihan sikap pragmatis tersebut.

Sepenggal potret bangsa ini bisa memicu skeptisme yang akut, seluruh jalan akan nampak gelap, tak sedikitpun ada cahaya yang terlihat di ujung jalan…walau segala cara sudah di coba yang ditemui hanya kekecewaan yang tak berkesudahan karna multi krisis tetap berlangsung…Dapatkah kondisi ini menjadi satu turning point dimana momentum bisa sangat berpengaruh terhadap semangat perubahan , sehingga multi krisis ini dapat menjadi satu dorongan kuat kearah positif .

Gerakan reformasi yang menjatuhan orde baru merupakan awal dari dari suatu proses perbaikan bangsa ini, kenyataan hari ini kita belum menemukan format terbaik dalam pengelolan Negara,

Siapa yang betanggung jawab akan kondisi bangsa saat ini?? Pertanyaan ini tidak bisa memberikan solusi bagi kondisi bangsa kita saat ini , tetapi apabila pertanyaannya siapa yang harus melakukan perbaikan terhadap kondisi bangsa ?? jawabannya kaum muda yang harus memperbaikinya, walaupun kesadaran secara kolektif bangsa ini hanya masih dalam kategori wacana semata-mata.

The future belongs to those who believes in the beauty of their dreams. Kalimat bijak milik Eleanor Rosevelt ini bisa menjadi suatu inspirasi dalam memupuk optimisme khususnya bagi kaum muda guna membuat dan memotivasi dalam membangun suatu gerakan ditengah segala keputusasaan yang ada.

Gerakan Kaum muda yang progressive yang selalu berusaha memahami permasalahan kondisi bangsa diharapkan bisa membangun visi yang jelas dan terarah dalam menata langkah dan tujuan, kreatifitas dan inovatif dalam berkarya akan mewujudkan kemandirian hidup dan bisa menjauhkan dari langkah yang pragmatis , kaum muda yang cerdas dengan membangun integritas didalam dirinya dimana agama dan budaya menjadi koridornya akan membentuk moral – moral yang tahan ujian dan godaan, semua hal ideal tentang gerakan kaum muda ini diharapkan bisa melahirkan manusia – manusia muda yang memiliki jiwa patriotisme dan berjiwa besar dimana akan senantiasa loyal terhadap bangsanya, sehingga mimpi – mimpi untuk bisa mewujudkan bangsa Indonesia keluar dari keterpurukan akan bisa menjadi kenyataan, dan yang pasti ketika kalimat generasi muda harapan bangsa itu terulang dan dilontarkan kepada kita sebagai generasi muda maka setidaknya kita sudah mempunyai mimpi mengenai kondisi bangsa kita kedepan yang akan coba kita wujudkan pada kehidupan nyata……

WIRANTO: Teladan Demokrasi Indonesia

Oleh. Budi Hermansyah
Wakil Ketua Umum DPN Gema Hanura
Wakil Ketua DPD Partai Hanura Jawa Barat


Terminologi demokrasi kembali ramai menjadi perdebatan publik, setelah
pernyataan yang cukup kontroversial dari Ketua Umum Partai Golkar, Jusuf Kalla.
Menurut JK, demokrasi sebagai sebuah sistem bukanlah tujuan utama. Ia bahkan
berkata, demokrasi ada di nomor urut dua setelah tujuan utamanya, yakni
menyejahterakan rakyat. Secara eksplisit ia nyatakan, adalah halal melakukan cara apa
pun, demi menyejahterakan rakyat.
Pernyataan tersebut banyak memancing respons yang cukup negatif dari
berbagai pihak, bahkan mengarah pada peraguan komitmen seorang JK yang
notabene Ketua Umum parpol, salah satu pilar utama demokrasi. Apalagi, demokrasi
merupakan amanat konstitusi, juga nilai yang harus dijunjung tinggi dalam kehidupan
berbangsa yang plural ini. Ditambah dengan produk Rapimnas Partai Golkar yang
menghapuskan sistem konvensi untuk menjaring calon pimpinan nasional ke
depan—dan disepakati penggunaan pendekatan cara-cara yang demokratis
dibandingkan dengan cara Rapim yang hanya melibatkan segelintir elite
partai—semakin membuat JK tampak miring kredibilitasnya.
Menarik untuk dikaji lebih mendalam pada persoalan komitmen seorang
tokoh pada pembangunan tatanan dan penjunjungan tinggi pada nilai-nilai
demokrasi. Ada beberapa variabel yang bisa dijadikan tolok ukur, apakah seorang
tokoh tersebut teruji komitmennya terhadap nilai-nilai demokrasi. Salah satu variabel
yang bisa dijadikan tolok ukur adalah catatan peristiwa yang pernah dilalui oleh
seorang tokoh.
Sebab, ada beberapa peristiwa penting yang dapat dianggap sebagai
pergulatan politik nasional dan bisa dijadikan peluang yang sangat strategis untuk
mengambil alih dan melanggengkan kekuasaan secara efektif dan efisien, dengan
tanpa mengindahkan nilai-nilai yang demokratis.
Ketika Orba jatuh, seorang Jenderal bernama Wiranto, dengan posisi politik
dan jabatan di struktur kekuasaan, adalah satu-satunya orang yang paling berpeluang
memanfaatkan momentum politik, untuk mengambil alih kendali kekuasaan dari
tangan Presiden Soeharto. Di saat negara sedang chaos dan terjadi kondisi bias pada
level kepemimpinan nasional, sebagai Panglima TNI, Jenderal Wiranto memiliki
kekuatan legalitas politik untuk mengambil peran sentral dalam mengendalikan fungsi
seluruh instrumen kenegaraan. Tapi ternyata, posisi tersebut tidak lantas
dimanfaatkan Jenderal Wiranto untuk mengambil alih kekuasaan. Beliau hanya
berkomitmen pada fungsi dan tanggung jawabnya sebagai Panglima TNI, yang
bertugas mengamankan bangsa ini, agar tidak mengarah pada konflik yang lebih
parah antar sesama anak bangsa, dan menjaga keutuhan NKRI dari perpecahan,
seperti yang dialami oleh bangsa lain yang bubar pasca transisi kekuasaan.
Dari peristiwa tersebut, kita menilai bagaimana moral politik yang dimiliki
seorang Jenderal Wiranto, yang lebih mengedepankan penghormatan pada fungsi
institusi negara yang sesuai dengan amanat konstitusi. Sikap ini sekaligus merupakan
refleksi dari nilai-nilai demokrasi yang dijunjungnya.
Teladan Demokrasi
Di bawah ini akan saya coba catat beberapa peristiwa yang secara langsung
melibatkan psikologi politik, dikarenakan posisi dan jabatan yang beliau sandang pada
waktu itu.
Pertama, pada saat bulan Mei 1998, sewaktu ada skenario supersemar kedua,
meskipun hanya sekadar isu yang beredar di kalangan politikus. Sebagai panglima
TNI yang membawahi komando tiga angkatan bersenjata dan Polri, untuk
menjadikan hal ini sebagai sebuah fakta politik tentu bukan sesuatu yang mustahil
untuk diwujudkan. Tetapi, pilihan politik beliau adalah mengawal proses konstitusi
peralihan kekuasaan dari Soeharto ke Habibie.
Kedua, mengawal proses sidang istimewa MPR pada bulan November 1998
yang menghasilkan pelaksanaan pemilu dipercepat, dan ini merupakan pemilu
multipartai pertama yang diakui cukup demokratis, pasca jatuhnya rezim Orde Baru.
Ketiga, pada pelaksanaan Munaslub Golkar. Sebagai petinggi TNI pada waktu
itu, sangat mungkin bagi beliau untuk menggunakan pengaruh politik terhadap
peserta Munas yang berasal dari unsur TNI untuk memenangkan Jenderal (Purn) Edi
Sudradjat sebagai kandidat Ketua Umum Golkar. Tetapi, hal itu tidak dilakukan oleh
beliau, bahkan pada saat itu, ada keputusan tentang keluarnya unsur KBA secara
kelembagaan dari Golkar.
Keempat, peristiwa penolakan Laporan Pertanggungjawaban Presiden Habibie
pada Sidang Umum MPR hasil Pemilu 1999. Hal ini telah mengubah konstelasi
politik nasional. Dengan kondisi tersebut, sebagai tokoh politik nasional, sangat
terbuka peluang bagi beliau untuk maju menjadi kandidat presiden. Bahkan informasi
yang beredar, beliau sangat layak untuk menjadi alternatif kandidat pengganti
Habibie. Namun, beliau tidak mau memanfaatkan kondisi tersebut.
Kelima, mengikuti proses demokrasi pada konvensi Partai Golkar dalam
penjaringan bakal calon presiden, dan kemudian menjadi seorang tokoh yang paham
betul norma dan mekanisme demokrasi, lantaran beliau dipercaya Partai Golkar
menjadi calon presiden.
Keenam, tidak melakukan perlawanan dan tindakan yang berlawanan dengan
nilai-nilai demokrasi pada saat pelaksanaan Pemilu Presiden 2004 yang ditengarai
banyak kecurangan dalam pelaksanaannya dan merugikan beliau sebagai kandidat
presiden.
Ketujuh, sebagai tokoh politik nasional dan pemimpin yang bertanggung
jawab, komitmen beliau pada demokrasi terakumulasi ketika bersama tokoh dari
berbagai latar belakang politik mendirikan Partai Hanura, dengan ia sebagai
pemimpinnya. Di sini sangat jelas konsistensi perjuangan beliau pada cita-cita
pembangunan tatanan demokrasi, yang jauh dari sifat pragmatisme dan oportunisme
dalam politik.
Kalau tujuannya hanya kekuasaan an sich, beliau tidak perlu bersusah payah
mendirikan partai untuk media perjuangan. Sekapasitas beliau, bukan sesuatu yang
sulit untuk mendapatkan wadah atau lembaga yang bisa dimanfaatkan sebagai alat
untuk berkuasa. Sudah barang tentu akan banyak partai yang melamar beliau sebagai
calon pemimpin nasional ke depan. Tetapi, sekali lagi, beliau memilih cara yang lebih
halal dan bertanggung jawab untuk berjuang secara kolektif dengan komponen lain
dalam mewujudkan cita-cita politiknya. Demi terwujudnya bangsa Indonesia yang
sejahtera dan demokratis seutuhnya.

PEMUDA BUKAN KOLONI KOMPRADOR

Oleh. Agus Zaini
Ketua Umum DPN Gema Hanura

Sejauh ini, ada beberapa isu yang menggejala kuat dalam spektrum global. Dalam
beberapa tahap, isu-isu tersebut bahkan berhasil mengklasifikasi negara-negara di dunia
menjadi negara baik di satu sisi, dan negara jahat yang mengancam stabilitas dunia di sisi
yang lain. Untuk kategori kedua, mereka diposisikan layak untuk dieksekusi menggunakan
hukum internasional. Isu-isu tersebut adalah teknologi, SDM, energi, dan lingkungan.
Isu teknologi membawa konfigurasi global pada tercetaknya negara-negara maju
dengan basis industri kuat, serta negara-negara miskin dan berkembang dengan tingkat
ketergantungan yang sangat atas teknologi. Terciptalah pasar besar di negara-negara dunia
ketiga, akibat distribusi modal besar-besaran, sebagai konsekuensi pemerataan SDA. Semua
tahu, negara-negara maju tidak seberuntung negara-negara terbelakang untuk urusan potensi
alamnya. Sementara itu, bagi negara-negara yang tidak menyetujui globalisasi modal, lantas
diasingkan dan dianggap biang ketidakstabilan dunia.
Isu kedua adalah isu SDM. Isu ini kembali menempatkan negara-negara maju pada
strata pertama, dengan indeks kepintaran yang sulit dikalahkan negara dunia ketiga. Beberapa
kriteria intelegensia bahkan didesain mereka untuk kemudian diikuti masyarakat
negara-negara miskin. Migrasi pendidikan besar-besaran pun terjadi dari Asia ke Eropa, atau
dari Afrika ke AS. Betapa negara miskin harus mengabdi pada semua moral yang ditanamkan
negara maju, hingga ke semua lini kehidupan. Simak saja beberapa negara yang akhirnya
dianggap tidak taat pada HAM dan demokrasi, serta mendapatkan boikot internasional.
Selanjutnya, energi berhasil dikomoditaskan negara-negara maju, lantaran sekali lagi,
penghasil energi besar justru didominasi negara dunia ketiga. Konflik-konflik di berbagai
benua, pada akhirnya berujung pada penguasaan pusat-pusat energi dunia semisal minyak,
gas, batu bara, dan yang lain. Dengan bermacam dalih, negara-negara maju pun bersekutu
menaklukkan negara-negara penghasil energi.
Terakhir, isu lingkungan lantas menjadi alternatif terakhir untuk menghardik negara
yang kaya sumber daya alam, dengan dalih perusakan ekosistem dunia. Negara-negara maju
beramai-ramai menekan semua negara subur, untuk bertanggung jawab pada semua
perbuatan mereka, yakni eksploitasi alam tanpa rehabilitasi. Untuk sekian kalinya,
negara-negara maju pun melenggang jauh dengan dominasi yang semakin sulit dilawan.
Agen Asing
Semua isu dominan di atas mengantarkan kaum muda pada problem signifikan hari
ini, yakni banyaknya generasi penerus bangsa yang entah mengapa, lebih tertarik mengabdi
kepada asing ketimbang leluhur dan tumpah darahnya. Sepertinya, telinga republik ini tak
pernah kering disinggahi bermacam kisah tentang kesuksesan orang sebagai agen asing, dan
tak lupa, menganggap diri mereka lebih tinggi dibanding kalangan sejawat yang mungkin,
masih memilih untuk bertahan bersama setumpuk persoalan dalam negeri berikut
gegap-gempitanya tuntutan diri seputar penyeimbangan idealisme dan kepentingan perut.
Sebagian dari mereka bahkan blak-blakan berkata bahwa Indonesia terlalu kompleks
untuk dijadikan tempat beraktualisasi, di samping penghargaan terhadap mereka yang dinilai
sangat jauh dari yang diinginkan. Ada kecenderungan opini tentang tidak kondusifnya negeri
ini bagi orang-orang pandai. Katanya, politik terlalu dominan. Katanya, penduduknya sulit
diatur. Katanya, terlalu banyak konflik berkepanjangan. Pun beribu komentar miring lainnya.
Padahal, pada beberapa hal, ketika benturan kepentingan terjadi, semisal citra
Indonesia sebagai ladang teroris kemarin, tentu akan merepotkan aktualisasi mereka, yang
senyatanya memang bagian dari republik ini. Atau, beberapa program pesanan yang
mengharuskan mereka untuk berinteraksi dengan penduduk negeri ini secara langsung,
semisal gerakan penegakan demokrasi, ketika tidak kompatibel, tentu akan menuai friksi
terbuka, lantaran ketidakharmonisan hubungan.
Ya, mereka dianggap agen asing, tapi mereka membutuhkan dukungan domestik
pada program-program asing. Akhirnya, semua menjadi memprihatinkan, lantaran anak
negeri harus saling berhadapan pada konflik-konflik yang seharusnya tidak perlu terjadi.
Bukan Komprador
Sejauh ini, sudah selayaknya perlu dikemukakan kembali jati diri anak negeri sebagai
bangsa. Artinya, seberapa pun dinamisnya realitas, setting goal tentang eksisnya bangsa tetap
merupakan prioritas yang harus dikedepankan. Sebab, bagaimana mungkin bangsa ini bisa
besar, bila tunas-tunasnya selalu dibajak kepentingan asing, hanya karena mungkin, akses dan
komunikasi yang buntu? Bagaimana mungkin bangsa ini tidak didikte oleh bangsa lain bila
generasi penerusnya masih gagu pada identitas kebangsaannya?
Logika sederhananya, kalau bukan anak bangsa yang memperjuangkan bangsanya,
lantas siapa? Tentu saja bukan lantas bergerak pada penanaman identitas chauvinistis atau
primordial. Sebab, cara pandang seperti ini juga bukan merupakan kepribadian bangsa
Indonesia. Harapan pastinya, semua kenyataan tentang rusaknya negeri adalah bagian tak
terpisahkan dari perjalanan anak negeri. Jadi, secara pelan tapi pasti, sudah semestinya segera
diselesaikan bersama-sama.
Beberapa kilasan sejarah dapat dikemukakan di sini. Barangkali, bila Hatta lebih
menginginkan berkarir di Eropa, akan banyak tempat yang disediakan kaum borjuis di sana.
Ketika itu, Hatta termasuk sosok yang diperhitungkan lantaran kebrilianannya. Namun,
seperti yang diketahui bersama, Hatta akhirnya memilih untuk pulang ke Indonesia, dan
bahkan, menyimpan hasratnya untuk memiliki sepatu yang ia idam-idamkan hingga
kewafatannya.
Atau kisah seorang Sritua Arief, ekonom penganut neo-strukturalisme, yang
gagasan-gagasannya sangat diterima di Malaysia, tapi lebih memilih untuk membesarkan
beberapa mahasiswa di Solo dan Jogja, sebagai bentuk kefrustrasiannya pada utang luar
negeri Indonesia yang terlalu besar dan rendahnya kredibilitas bangsa ini di depan kekuatan
asing. Hingga maut menjemputnya, setelah diakrabi sakit stroke yang berkepanjangan, Sritua
masih sempat berpesan, “Jangan pernah percaya dengan the borderless world.”
Jadi jelas bahwa pemuda bukanlah koloni komprador.