18 Juli 2008

PEMUDA BUKAN KOLONI KOMPRADOR

Oleh. Agus Zaini
Ketua Umum DPN Gema Hanura

Sejauh ini, ada beberapa isu yang menggejala kuat dalam spektrum global. Dalam
beberapa tahap, isu-isu tersebut bahkan berhasil mengklasifikasi negara-negara di dunia
menjadi negara baik di satu sisi, dan negara jahat yang mengancam stabilitas dunia di sisi
yang lain. Untuk kategori kedua, mereka diposisikan layak untuk dieksekusi menggunakan
hukum internasional. Isu-isu tersebut adalah teknologi, SDM, energi, dan lingkungan.
Isu teknologi membawa konfigurasi global pada tercetaknya negara-negara maju
dengan basis industri kuat, serta negara-negara miskin dan berkembang dengan tingkat
ketergantungan yang sangat atas teknologi. Terciptalah pasar besar di negara-negara dunia
ketiga, akibat distribusi modal besar-besaran, sebagai konsekuensi pemerataan SDA. Semua
tahu, negara-negara maju tidak seberuntung negara-negara terbelakang untuk urusan potensi
alamnya. Sementara itu, bagi negara-negara yang tidak menyetujui globalisasi modal, lantas
diasingkan dan dianggap biang ketidakstabilan dunia.
Isu kedua adalah isu SDM. Isu ini kembali menempatkan negara-negara maju pada
strata pertama, dengan indeks kepintaran yang sulit dikalahkan negara dunia ketiga. Beberapa
kriteria intelegensia bahkan didesain mereka untuk kemudian diikuti masyarakat
negara-negara miskin. Migrasi pendidikan besar-besaran pun terjadi dari Asia ke Eropa, atau
dari Afrika ke AS. Betapa negara miskin harus mengabdi pada semua moral yang ditanamkan
negara maju, hingga ke semua lini kehidupan. Simak saja beberapa negara yang akhirnya
dianggap tidak taat pada HAM dan demokrasi, serta mendapatkan boikot internasional.
Selanjutnya, energi berhasil dikomoditaskan negara-negara maju, lantaran sekali lagi,
penghasil energi besar justru didominasi negara dunia ketiga. Konflik-konflik di berbagai
benua, pada akhirnya berujung pada penguasaan pusat-pusat energi dunia semisal minyak,
gas, batu bara, dan yang lain. Dengan bermacam dalih, negara-negara maju pun bersekutu
menaklukkan negara-negara penghasil energi.
Terakhir, isu lingkungan lantas menjadi alternatif terakhir untuk menghardik negara
yang kaya sumber daya alam, dengan dalih perusakan ekosistem dunia. Negara-negara maju
beramai-ramai menekan semua negara subur, untuk bertanggung jawab pada semua
perbuatan mereka, yakni eksploitasi alam tanpa rehabilitasi. Untuk sekian kalinya,
negara-negara maju pun melenggang jauh dengan dominasi yang semakin sulit dilawan.
Agen Asing
Semua isu dominan di atas mengantarkan kaum muda pada problem signifikan hari
ini, yakni banyaknya generasi penerus bangsa yang entah mengapa, lebih tertarik mengabdi
kepada asing ketimbang leluhur dan tumpah darahnya. Sepertinya, telinga republik ini tak
pernah kering disinggahi bermacam kisah tentang kesuksesan orang sebagai agen asing, dan
tak lupa, menganggap diri mereka lebih tinggi dibanding kalangan sejawat yang mungkin,
masih memilih untuk bertahan bersama setumpuk persoalan dalam negeri berikut
gegap-gempitanya tuntutan diri seputar penyeimbangan idealisme dan kepentingan perut.
Sebagian dari mereka bahkan blak-blakan berkata bahwa Indonesia terlalu kompleks
untuk dijadikan tempat beraktualisasi, di samping penghargaan terhadap mereka yang dinilai
sangat jauh dari yang diinginkan. Ada kecenderungan opini tentang tidak kondusifnya negeri
ini bagi orang-orang pandai. Katanya, politik terlalu dominan. Katanya, penduduknya sulit
diatur. Katanya, terlalu banyak konflik berkepanjangan. Pun beribu komentar miring lainnya.
Padahal, pada beberapa hal, ketika benturan kepentingan terjadi, semisal citra
Indonesia sebagai ladang teroris kemarin, tentu akan merepotkan aktualisasi mereka, yang
senyatanya memang bagian dari republik ini. Atau, beberapa program pesanan yang
mengharuskan mereka untuk berinteraksi dengan penduduk negeri ini secara langsung,
semisal gerakan penegakan demokrasi, ketika tidak kompatibel, tentu akan menuai friksi
terbuka, lantaran ketidakharmonisan hubungan.
Ya, mereka dianggap agen asing, tapi mereka membutuhkan dukungan domestik
pada program-program asing. Akhirnya, semua menjadi memprihatinkan, lantaran anak
negeri harus saling berhadapan pada konflik-konflik yang seharusnya tidak perlu terjadi.
Bukan Komprador
Sejauh ini, sudah selayaknya perlu dikemukakan kembali jati diri anak negeri sebagai
bangsa. Artinya, seberapa pun dinamisnya realitas, setting goal tentang eksisnya bangsa tetap
merupakan prioritas yang harus dikedepankan. Sebab, bagaimana mungkin bangsa ini bisa
besar, bila tunas-tunasnya selalu dibajak kepentingan asing, hanya karena mungkin, akses dan
komunikasi yang buntu? Bagaimana mungkin bangsa ini tidak didikte oleh bangsa lain bila
generasi penerusnya masih gagu pada identitas kebangsaannya?
Logika sederhananya, kalau bukan anak bangsa yang memperjuangkan bangsanya,
lantas siapa? Tentu saja bukan lantas bergerak pada penanaman identitas chauvinistis atau
primordial. Sebab, cara pandang seperti ini juga bukan merupakan kepribadian bangsa
Indonesia. Harapan pastinya, semua kenyataan tentang rusaknya negeri adalah bagian tak
terpisahkan dari perjalanan anak negeri. Jadi, secara pelan tapi pasti, sudah semestinya segera
diselesaikan bersama-sama.
Beberapa kilasan sejarah dapat dikemukakan di sini. Barangkali, bila Hatta lebih
menginginkan berkarir di Eropa, akan banyak tempat yang disediakan kaum borjuis di sana.
Ketika itu, Hatta termasuk sosok yang diperhitungkan lantaran kebrilianannya. Namun,
seperti yang diketahui bersama, Hatta akhirnya memilih untuk pulang ke Indonesia, dan
bahkan, menyimpan hasratnya untuk memiliki sepatu yang ia idam-idamkan hingga
kewafatannya.
Atau kisah seorang Sritua Arief, ekonom penganut neo-strukturalisme, yang
gagasan-gagasannya sangat diterima di Malaysia, tapi lebih memilih untuk membesarkan
beberapa mahasiswa di Solo dan Jogja, sebagai bentuk kefrustrasiannya pada utang luar
negeri Indonesia yang terlalu besar dan rendahnya kredibilitas bangsa ini di depan kekuatan
asing. Hingga maut menjemputnya, setelah diakrabi sakit stroke yang berkepanjangan, Sritua
masih sempat berpesan, “Jangan pernah percaya dengan the borderless world.”
Jadi jelas bahwa pemuda bukanlah koloni komprador.

Tidak ada komentar: