18 Juli 2008

WIRANTO: Teladan Demokrasi Indonesia

Oleh. Budi Hermansyah
Wakil Ketua Umum DPN Gema Hanura
Wakil Ketua DPD Partai Hanura Jawa Barat


Terminologi demokrasi kembali ramai menjadi perdebatan publik, setelah
pernyataan yang cukup kontroversial dari Ketua Umum Partai Golkar, Jusuf Kalla.
Menurut JK, demokrasi sebagai sebuah sistem bukanlah tujuan utama. Ia bahkan
berkata, demokrasi ada di nomor urut dua setelah tujuan utamanya, yakni
menyejahterakan rakyat. Secara eksplisit ia nyatakan, adalah halal melakukan cara apa
pun, demi menyejahterakan rakyat.
Pernyataan tersebut banyak memancing respons yang cukup negatif dari
berbagai pihak, bahkan mengarah pada peraguan komitmen seorang JK yang
notabene Ketua Umum parpol, salah satu pilar utama demokrasi. Apalagi, demokrasi
merupakan amanat konstitusi, juga nilai yang harus dijunjung tinggi dalam kehidupan
berbangsa yang plural ini. Ditambah dengan produk Rapimnas Partai Golkar yang
menghapuskan sistem konvensi untuk menjaring calon pimpinan nasional ke
depan—dan disepakati penggunaan pendekatan cara-cara yang demokratis
dibandingkan dengan cara Rapim yang hanya melibatkan segelintir elite
partai—semakin membuat JK tampak miring kredibilitasnya.
Menarik untuk dikaji lebih mendalam pada persoalan komitmen seorang
tokoh pada pembangunan tatanan dan penjunjungan tinggi pada nilai-nilai
demokrasi. Ada beberapa variabel yang bisa dijadikan tolok ukur, apakah seorang
tokoh tersebut teruji komitmennya terhadap nilai-nilai demokrasi. Salah satu variabel
yang bisa dijadikan tolok ukur adalah catatan peristiwa yang pernah dilalui oleh
seorang tokoh.
Sebab, ada beberapa peristiwa penting yang dapat dianggap sebagai
pergulatan politik nasional dan bisa dijadikan peluang yang sangat strategis untuk
mengambil alih dan melanggengkan kekuasaan secara efektif dan efisien, dengan
tanpa mengindahkan nilai-nilai yang demokratis.
Ketika Orba jatuh, seorang Jenderal bernama Wiranto, dengan posisi politik
dan jabatan di struktur kekuasaan, adalah satu-satunya orang yang paling berpeluang
memanfaatkan momentum politik, untuk mengambil alih kendali kekuasaan dari
tangan Presiden Soeharto. Di saat negara sedang chaos dan terjadi kondisi bias pada
level kepemimpinan nasional, sebagai Panglima TNI, Jenderal Wiranto memiliki
kekuatan legalitas politik untuk mengambil peran sentral dalam mengendalikan fungsi
seluruh instrumen kenegaraan. Tapi ternyata, posisi tersebut tidak lantas
dimanfaatkan Jenderal Wiranto untuk mengambil alih kekuasaan. Beliau hanya
berkomitmen pada fungsi dan tanggung jawabnya sebagai Panglima TNI, yang
bertugas mengamankan bangsa ini, agar tidak mengarah pada konflik yang lebih
parah antar sesama anak bangsa, dan menjaga keutuhan NKRI dari perpecahan,
seperti yang dialami oleh bangsa lain yang bubar pasca transisi kekuasaan.
Dari peristiwa tersebut, kita menilai bagaimana moral politik yang dimiliki
seorang Jenderal Wiranto, yang lebih mengedepankan penghormatan pada fungsi
institusi negara yang sesuai dengan amanat konstitusi. Sikap ini sekaligus merupakan
refleksi dari nilai-nilai demokrasi yang dijunjungnya.
Teladan Demokrasi
Di bawah ini akan saya coba catat beberapa peristiwa yang secara langsung
melibatkan psikologi politik, dikarenakan posisi dan jabatan yang beliau sandang pada
waktu itu.
Pertama, pada saat bulan Mei 1998, sewaktu ada skenario supersemar kedua,
meskipun hanya sekadar isu yang beredar di kalangan politikus. Sebagai panglima
TNI yang membawahi komando tiga angkatan bersenjata dan Polri, untuk
menjadikan hal ini sebagai sebuah fakta politik tentu bukan sesuatu yang mustahil
untuk diwujudkan. Tetapi, pilihan politik beliau adalah mengawal proses konstitusi
peralihan kekuasaan dari Soeharto ke Habibie.
Kedua, mengawal proses sidang istimewa MPR pada bulan November 1998
yang menghasilkan pelaksanaan pemilu dipercepat, dan ini merupakan pemilu
multipartai pertama yang diakui cukup demokratis, pasca jatuhnya rezim Orde Baru.
Ketiga, pada pelaksanaan Munaslub Golkar. Sebagai petinggi TNI pada waktu
itu, sangat mungkin bagi beliau untuk menggunakan pengaruh politik terhadap
peserta Munas yang berasal dari unsur TNI untuk memenangkan Jenderal (Purn) Edi
Sudradjat sebagai kandidat Ketua Umum Golkar. Tetapi, hal itu tidak dilakukan oleh
beliau, bahkan pada saat itu, ada keputusan tentang keluarnya unsur KBA secara
kelembagaan dari Golkar.
Keempat, peristiwa penolakan Laporan Pertanggungjawaban Presiden Habibie
pada Sidang Umum MPR hasil Pemilu 1999. Hal ini telah mengubah konstelasi
politik nasional. Dengan kondisi tersebut, sebagai tokoh politik nasional, sangat
terbuka peluang bagi beliau untuk maju menjadi kandidat presiden. Bahkan informasi
yang beredar, beliau sangat layak untuk menjadi alternatif kandidat pengganti
Habibie. Namun, beliau tidak mau memanfaatkan kondisi tersebut.
Kelima, mengikuti proses demokrasi pada konvensi Partai Golkar dalam
penjaringan bakal calon presiden, dan kemudian menjadi seorang tokoh yang paham
betul norma dan mekanisme demokrasi, lantaran beliau dipercaya Partai Golkar
menjadi calon presiden.
Keenam, tidak melakukan perlawanan dan tindakan yang berlawanan dengan
nilai-nilai demokrasi pada saat pelaksanaan Pemilu Presiden 2004 yang ditengarai
banyak kecurangan dalam pelaksanaannya dan merugikan beliau sebagai kandidat
presiden.
Ketujuh, sebagai tokoh politik nasional dan pemimpin yang bertanggung
jawab, komitmen beliau pada demokrasi terakumulasi ketika bersama tokoh dari
berbagai latar belakang politik mendirikan Partai Hanura, dengan ia sebagai
pemimpinnya. Di sini sangat jelas konsistensi perjuangan beliau pada cita-cita
pembangunan tatanan demokrasi, yang jauh dari sifat pragmatisme dan oportunisme
dalam politik.
Kalau tujuannya hanya kekuasaan an sich, beliau tidak perlu bersusah payah
mendirikan partai untuk media perjuangan. Sekapasitas beliau, bukan sesuatu yang
sulit untuk mendapatkan wadah atau lembaga yang bisa dimanfaatkan sebagai alat
untuk berkuasa. Sudah barang tentu akan banyak partai yang melamar beliau sebagai
calon pemimpin nasional ke depan. Tetapi, sekali lagi, beliau memilih cara yang lebih
halal dan bertanggung jawab untuk berjuang secara kolektif dengan komponen lain
dalam mewujudkan cita-cita politiknya. Demi terwujudnya bangsa Indonesia yang
sejahtera dan demokratis seutuhnya.

Tidak ada komentar: